How To Make Millions Before Grandma Dies: Detail-Detail Kecil dalam Beberapa Scene-nya

Leli
9 min readMay 28, 2024

--

Film yang sedang ramai diperbincangkan karena alur cerita yang dibawa cukup dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Selain related thingsnya, How To Make Millions Before Grandma Dies memiliki detail-detail kecil yang sangat menarik sebagai sebuah film yang menceritakan kisah lansia dan cucunya.

Sebagai disclaimer awal, review ini tidak akan membahas mengenai alur cerita ataupun kedalaman emosi sebagaimana digaungkan di banyak review sebelumnya, karena sense of touch film ini akan terasa berbeda-beda bagi tiap-tiap penontonnya. Ada yang sampai menangis tersedu-sedu, adapula yang merasa sense of touch-nya tipis saja. Well, semua interpretasi tentang menonton film tidak ada yang salah😉.

Disclaimer kedua, mungkin dalam berjalannya review ini, akan ditemukan beberapa spoiler-spoiler yang tidak teman-teman harapkan. Maka dari itu, jika teman-teman merasa cukup dengan spoiler-spoiler yang ada, teman-teman bisa menghentikan untuk membaca.

Disclaimer ketiga adalah apa yang ditulis di sini berdasarkan apa yang dibaca dalam beberapa jurnal dan pdf dari Google Scholar, apabila ada yang tidak sesuai, maka (mungkin) ketidaksesuaian itu berangkat dari pemikiran pribadiku belaka. Sebelumnya, dalam beberapa unggahan reviewer lain seperti akun X/Twitter Neohistoria (@neohistoria_id) dan Masaji (@DarkOushiza) sudah dibahas beberapa hal mengenai kultur suku bangsa Teochew/Tiochiu yang jadi latar belakang tokoh utama pada film ini.

How To Make Millions Before Grandma Dies diawali dengan kedatangan M si main character ke rumah neneknya yang ia panggil dengan sebutan Amah, M dan neneknya adalah keturunan Sino-Thai (Chinese-Thai, dengan suku bangsa Teochew/Tiochiu) sehingga panggilan Amah tidak akan asing ditelinga kita. Begitupun saat M dan neneknya membahas kakek M yang dipanggil dengan sebutan Agong (Akong/Akung) yang berarti kakek, panggilan ini juga tentunya sangat dekat dengan telinga orang Indonesia karena banyak pula dari kita yang memanggil kakek-kakek kita dengan sebutan demikian (karena memang bahasa dan kebudayaan kita juga banyak dipengaruhi oleh keberadaan etnis Chinese di Indonesia).

Rumah Amah berada di gang yang cukup sempit di Talat Plu, nampaknya lokasi ini adalah lokasi yang dihuni cukup banyak orang-orang Sino-Thai. Dibuktkikan dengan keberadaan toko kelontong Ngek yang kental dengan ornamen-ornamen Chinese (jadi setidaknya ada Sino-Thai lainnya yang juga menjadi pelanggan Ngek, karena jika dilihat, toko kelontong tersebut menjual pernak-pernik Chinese pula)

Selama menonton film, jujur saja aku terus-terusan salfok dengan realitas sosial dan kultural yang disajikan. Aku sangat-sangat menyukai tipikal film seperti ini, sebelumnya aku juga sudah sempat membaca thread di akun X/Twitter @DarkOushiza yang menghadirkan review How To Make Millions Before Grandma Dies dengan menyenangkan dan bagus sekali. Aku termasuk salah satu orang yang cukup menyukai budaya-budaya Asia Timur, terkhusus kebudayaan China dan suku-suku bangsanya. Sehingga kehadiran film ini cukup menyenangkan bagiku.

Aku juga cukup kagum dengan berbagai hal yang disajikan di dalam film, beberapa diantaranya adalah detail-detail kecil yang semakin menegaskan bahwa film ini berhasil membangun narasi sebagai film yang menceritakan kisah relasi lansia dan anak-cucunya, serta mencatut erat kebudayaan suku bangsa Teochew/Tiochiu atau orang-orang Sino-Thai. Detail-detail kecil tersebut diantaranya:

1.) Detail Benda-Benda Properti

  • Mangkok yang tepiannya gripis/retak kecil

Aku tidak tidak tau, teman-teman menyadari hal-hal ini atau tidak. Tapi saat M membantu neneknya untuk membuat teh persembahan untuk sembahyang, terdapat beberapa properti yang hadir di situ. Salah satunya adalah mangkok keramik yang digunakan M untuk wadah air panas, di scene ini shoting kamera benar-benar diarahkan ke mangkok keramik Amah yang digunakan oleh M. Di mangkok itu, nampak bibir mangkok yang gripis kecil (seperti gambar di bawah), sebagai disclaimer, aku tidak terlalu mengerti mengenai teknik pengambilan gambar dalam film. Tapi menurutku, hal ini adalah simbolik yang cukup detail untuk menggambarkan bahwa perabot di rumah Amah sudah sama tuanya dengannya. Selain itu seakan-akan juga menegaskan realitas yang ingin ditampakkan, bahwa memang beginilah kondisi perabot di rumah lansia, meskipun sudah hilang estetikanya, akan tetap digunakan asal masih berfungsi dengan baik.

Sumber: google.com
  • Cerek aluminium dan kompor yang peyok dan gosong di beberapa sisinya

Saat M membantu neneknya kembali untuk memanaskan air (aku agak lupa ini untuk keperluan sembahyang atau mandi neneknya), ia memaskan air dalam cerek aluminium di atas sebuah kompor. Cerek ini bentuknya sama persis dengan cerek di rumahku yang mungkin sudah berusia lebih tua daripada adikku hahaha. Lagi-lagi detail seperti ini membuatku cukup takjub, dimana properti bisa dibuat mendetail untuk memberikan kesan secara tidak langsung bahwa benda-benda di rumah Amah memang sudah tidak berusia muda lagi. Hal ini pula yang mengantarkan dialog M dengan ibunya saat rumah Amah akan dijual, M mengatakan bahwa barang-barang di rumah itu bisa dibuang seluruhnya karena memang sudah jelek semuanya, maka apa yang dikatakan M adalah hal yang valid.

Sumber: https://x.com/darkoushiza/status/1793895504495120416?s=46
  • Penggunaan kelambu anti nyamuk

Penggunaan kelambu anti nyamuk di tempat tidur mungkin sekarang sudah jarang banget kita jumpai, tidak banyak orang-orang yang sudah (merasa) modern masih bertahan mengenakannya. Karena sekarang sudah tersedia beragam varian obat anti nyamuk dari yang konvensional hingga elektrik, orang-orang pun mulai meninggalkan kelambu. Hadirnya kelambu ini juga memberikan kesan kuno yang natural bagi rumah Amah, jika kita bandingkan, di rumah M atau pamannya pun sudah tidak memakai kelambu anti nyamuk (tapi jujur aja di kamarku masih make kelambu, soalnya dipaksa bapakku make. Yup, bapakku menganut prinsip kekunoan Amah tersebut😭). Kelambu seperti ini juga yang sering kujumpai di rumah Mbah atau Bude-Budeku yang sudah sepuh.

Sumber: https://x.com/darkoushiza/status/1793897395358765202?s=46

2.) Detail Realitas Sosial

  • Antrean di rumah sakit

Tentu teman-teman tidak akan lupa dengan scene rumah sakit saat M mengantarkan Amah untuk kemoterapi, mungkin yang paling membekas di pikiran teman-teman adalah antrean panjang dengan sendal calon pasien/keluarga pasien yang ditata berbaris untuk menandai antrean. Scene ini berunsur komedi yang tipis namun mampu membuat seisi bioskop tertawa karena ulah M yang mengintari sendal berjejer yang ternyata panjangnya udah kaya jam lembur shift 3 itu. Selain itu, scene ini juga sangat dekat dengan budaya mengantre kita. Namun bukan detail ini yang menarik perhatianku, namun keberadaan extras dua anak kecil yang duduk dibangku tunggu. Anak-anak kecil perempuan ini nampak sehat dan bukan ia yang sakit, ia semacam hanya diajak ke rumah sakit untuk mengantarkan keluarganya yang sakit. Hal ini benar-benar mengingatkanku akan realitas yang sering ku temui di rumah sakit, bahwa orang tua selalu mengajak anak-anaknya ke rumah sakit karena tidak punya pilihan. Antara tidak ada orang lain yang bisa mengantar keluarganya ke rumah sakit dan tidak ada yang menjaga anaknya di rumah. Jadi mending dibawa semuanya aja.

3.) Detail Realitas Kultural

Sebagaimana pernyataan sebelumnya bahwa Amah tinggal di lingkungan Tiochiu/Teochew yang masih kental dengan budaya tradisional mereka, maka bagian detail ini akan membahas kultur masyarakat Chinese dan Tiochiu pada khususnya yang nampak pada beberapa scene di film. Akan ada beberapa rujukan jurnal yang digunakan, jurnal-jurnal tersebut akan dilampirkan di bagian references juga apabila ingin dibaca lebih dalam.

  • Pedagang-pedagang di sekitar lingkungan Amah tinggal

Amah adalah seorang pedagang bubur atau di dalam film dinamai dengan congee/jok, sesuai dengan tradisi masyarakat Tiochiu, masakan mereka memang perpaduan dari masakan Hokkian dan Kanton yang dominan bertekstur lembut karena dimasak dengan cara dikukus ataupun direbus [1], jadi profesi Amah sebagai pedagang bubur ini juga merupakan penegasan dan penceritaan secara tidak langsung mengenai latar belakang Amah sebagai keturunan Tiochiu di Thailand. Selain itu, pedagang adalah profesi mayoritas para keturunan Tiochiu karena mereka memang bergerak di sektor perdagangan mikro seperti pedagang kaki lima [2]. Jadi tidak heran jika Amah juga merupakan seorang pedagang kaki lima yang menjual bubur di pinggir jalan. Begitupun dengan pedagang-pedagang lain seperti pedagang ikan bakar langganan Amah selama 40 tahun, pedagang-pedagang kaki lima di sekitar lapak Amah, dan toko kelontong Ngek (teman Amah) yang menjual pernak-pernik dan jajanan Chinese.

Sumber: https://x.com/diidot/status/1790949794871206306?s=46
  • Garis keturunan dan warisan

Film ini secara garis besar ingin menghighlight hubungan keluarga dan segala bentuk permasalahannya, salah satu permasalahan yang diangkat adalah pembagian harta warisan. Dalam budaya masyarakat Chinese, sistem warisnya menggunakan sistem waris patrilineal[3]. Sistem waris ini sangat berpotensi menyebabkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan dan keturunannya di dalam keluarga. Belum lagi, dalam tradisi masyarakat Chinese ada pembedaan antara cucu dari anak laki-laki yang disebut sebagai cucu dekat dan cucu dari anak perempuan yang disebut cucu jauh, sehingga cucu dari anak laki-laki akan lebih didahulukan. Fakta dari tradisi ini sangat diberikan ruang yang cukup lebar dan mendetail di dalam film, contohnya pada saat scene Amah yang mengunjungi kakak laki-lakinya untuk meminta bagian dari warisan guna membangun makamnya kelak. Di scene ini, Amah ditolak mentah-mentah oleh kakaknya tersebut, karena menurutnya, Amah tidak berhak atas harta warisan yang telah didapatkannya dari orang tua mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sikap konservatif juga sangat melekat pada kakak Amah.

Scene selanjutnya adalah pada saat rumah Amah dialihnamakan kepada adik laki-laki dari ibu M dan kemudian dijual, ibu M tidak mendapatkan sepeserpun dari warisan yang diberikan oleh Amah sehingga ia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan M (sebagaimana yang dilakukan Amah dari ia muda sampai sebelum sakit). Dialog ibu M yang mengatakan bahwa “anak perempuan hanya mewarisi penyakit, bukan mewarisi harta” juga cukup menohok bagi kita semua, demikianlah sistem waris patrilineal yang memang dirasa lebih menguntungkan anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan.

Sumber: https://x.com/diidot/status/1791004695890436499?s=46
  • Deposito Amah dan arti penting makam bagi orang Chinese

Saat kesehatan Amah semakin memburuk, ia masih menyempatkan berjualan untuk terus bisa mengisi deposito yang ia buka di bank. Deposito ini mengantarkan pada sebuah cerita flashback yang ternyata Amah membuat deposito tersebut untuk M, secara teori, istilah cucu dekat dan cucu jauh patah pada adegan ini, karena Amah begitu mengasihi dan menyayangi M dan ibunya, yang sampai akhir hayatnya ia ingin tinggal dan dirawat oleh M dan ibunya. Dalam adegan ini, kasih sayang Amah kepada anak perempuan dan cucunya dibuktikan dengan rela membanting tulang (kalo membanting pintu, itu minta pcx) untuk terus mengisi deposito untuk M.

Pada adegan ini, sinematografi dibuat sangat dramatis dengan kembalinya ingatan M bahwa ia pernah berkata akan membelikan Amah rumah yang bagus dan mewah. Ingatan M tentang masa kecilnya itu mengantarkan pada sebuah keputusan bahwa M akan menggunakan uang tersebut untuk makam Amah, karena Amah juga sudah meninggal. Makam Amah dibuat sedemikian rupa bagus dan indah sesuai keinginannya, hal ini merupakan sebuah kepercayaan terhadap tradisi Chinese bahwa makam bagi orang Chinese adalah hal penting untuk mengetahui tepat tidaknya fengshui dan hal yang bisa mempersatukan keluarga melalui cheng beng atau qingming (ritual mengunjungi makam leluhur). Jika wujud makamnya bagus dan indah, maka rumah mendiang di alam baka juga akan indah dan megah[4]. Sehingga keinginan M untuk membelikan rumah yang megah dan indah untuk Amah benar-benar tercapai, meskipun bukan rumah di dunia.

Adegan M mengingat ini juga disertai dengan turunnya hujan yang menandakan bahwa hujan ini membawa berkat dan keberuntungan sebagaimana kepercayaan orang-orang Chinese, tanpa kita sadari adegan ini dibuat sedemikian mendetail dengan simbolik-simbolik di sekitar M, baik dari yang tersirat maupun tersurat.

Sumber: https://x.com/neohistoria_id/status/1794738234536386929?s=46

Nah begitulah teman-teman detail-detail ciamik yang aku temuin dari menonton film How To Make Millions Before Grandma Dies atau Lanh Mah ini, overall aku memberi nilai 8.5/10 dengan pertimbangan alur cerita, penokohan, latar tempat, dan detail-detailnya itu tadi. Aku sangat suka dengan genre film slice of life seperti ini, apalagi yang banyak menghighlight realitas sosial dan kultural yang belum pernah aku dalami sebelumnya. Dan terakhir, karena aku bukan etnis Chinese, maka tulisan ini banyak kurangnya dan hanya bersumber dari literatur-literatur yang kubaca. Jika ada kekurangan atau kesalahan, please kindly to let me know! Terima kasih dan selamat menonton How To Make Millions Before Grandma Dies ya!🌻

References:

[1] Thread Aurelia Vizal (@senjatanuklir) tentang makanan etnis China Tiochiu, https://x.com/senjatanuklir/status/1259884183310065665?s=46

[2] Veronika Meidyana dan Sidhi Wiguna Teh, 2019, Galeri Seni Kebudayaan Peranakan Tionghoa Indonesia, Jurnal Stupa, Vol. 1 No. 1 Hal. 696

[3] Hans Christian; Achmad Busro; dan Mujiono Hafidh Prasetyo, 2020, Analisis Tentang Hukum Kewarisan Adat Cina Yang Tidak Memberikan Hak Mewaris Bagi Anak Perempuan di Kota Palembang, Jurnal Notarius, Vol. 13 No. 1 Hal. 417

[4] Yanti Mayasari Ginting; dkk, 2022, Bakar Tongkang Manajemen Pengetahuan Pariwisata Budaya Berkelanjutan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, hal. 17

--

--

Leli

Kamu bisa menemukanku dalam bentuk apapun; tidak terkecuali pada cerita buruk dan kurang revolusioner