Kelindan Total: Perempuan, Buruh, dan Pendidikan

Leli
6 min readMay 1, 2024

--

“Ketika kita berpikir perempuan adalah makhluk tidak rasional, maka tujuan tulisan ini adalah membalik pernyataan itu. Perempuan dalam kelindan erat budaya patriarki dan misoginisme, bertarung erat dengan peran-peran gandanya di dalam masyarakat; dalam pekerjaan dan pendidikan, peran perempuan adalah peran abadi, sama halnya dengan lelaki, perempuan berakal – pun berbudi pekerti.”

Bulan-bulan April dan Mei adalah bulan-bulan penuh perayaan bagi perjuangan kelas, di Indonesia, bulan April sangat erat kaitannya dengan perjuangan kelas perempuan yang diperingati pada tanggal 21 April yang diambil dari hari lahir R.A. Kartini sebagai salah satu pahlawan perempuan Indonesia. Kartini diyakini sebagai tokoh emansipasi yang turut serta berkontribusi dalam sejarah panjang pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Bulan Mei terdapat dua perayaan sekaligus dalam upaya perjuangan kelas, yakni 1 Mei sebagai Hari Buruh dan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari Buruh adalah hari raya bagi seluruh kelas pekerja di dunia yang bekerja, menuntut, dan merayakan hak-haknya agar terpenuhi secara maksimal, Mayday (nama lain Hari Buruh) di Indonesia juga diwarnai dengan beragam aksi long march dan demonstrasi. Hari penting kedua di bulan Mei adalah Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, sebagaimana hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional yakni Ki Hajar Dewantara. Hari Pendidikan Nasional adalah hari refleksi besar pendidikan di Indonesia, yang mana di dalamnya tentu harus menyoal bagaimana pendidikan mampu menjadi sarana yang memerdekakan untuk kaum yang berada dalam kelas yang tertindas dan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan itu – Karena salah satu upaya pendidikan adalah tidak meninggalkan siapapun dalam persatuan.

Ajaib! Mungkin kita tidak pernah menyadari, mengapa ketiga hari tersebut terjadi dalam waktu yang berdekatan. Jika kita maknai ketiga hari tersebut sebagai pengingat, maka ketiga hari tersebut adalah hari-hari besar untuk kita saling mengelaborasi dan merefleksi, sejauh apa peran dan kontribusi kita terhadap ketiga hal tersebut. Pembahasan mengenai perayaan-perayaan ini tidak akan diromantisasi dengan ajakan menerima nasib karena kelindan stratifikasi dan polemiknya yang sulit ditembus, namun sebaliknya, kita akan mencari; mengulas; dan mengurai bagaimana para pendahulu dan tokoh-tokoh di sekitar kita mampu memaknai hidup sebagai sarana perjuangan yang harus dimenangkan.

Hari Kartini, 21 April. Hari bagi perempuan untuk mengingat sosok-sosok perempuan yang dilabeli hebat dalam hidupnya, sering pula Hari Kartini dimaknai sebagai hari berkebaya sebagaimana perempuan lekat karenanya – Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan berkebaya. Aku sempat tersentil sampai ke ulu hati, ketika menjelang Hari Kartini kemarin ramai-ramai terjadi pelemparan opini dan kalimat-kalimat misoginis dari berbagai pihak kepada perempuan, terasa miris dan menyedihkan. Mulai dari objektivikasi tubuh perempuan dengan penyebutan akronim tidak pantas dan disrespectful seperti ceker babat dan lain sebagainya, hingga “penyerangan” terhadap trend My Make Up Routine yang yang sangat-sangat harmless yang dishare oleh para kawan-kawan perempuan di Instagram. Satu pertanyaanku, kenapa setiap perempuan mencoba bersenang-senang dengan diri dan hidupnya, selalu saja ada kalimat jahat yang menyertainya? Tidak selesai pertanyaan itu kutemukan jawabannya, setiap hari, kita selalu disuguhkan dengan anggapan bahwa perempuan adalah kaum yang tidak menggunakan logikanya dan lebih besar perasaannya (sebagaimana premis di atas dibangun), tentu kita bosan sekali mendengar kalimat klise seperti ini.

Jika memang perempuan tidak menggunakan logikanya, lantas bagaimana kita mendefinisikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Keumalahayati, S. Rukiah, Marianne Katoppo, dan sederet nama besar perempuan dalam sejarah Indonesia atau dunia lainnya yang penuh dengan perhitungan dan logika dalam menjalani peran dan perjuangannya? Namun jika nama-nama di atas terlampau jauh untukmu karena tidak mengenal pribadinya, lantas bagaimana dengan ibu-ibu, bulik-bulik, budhe-budhe, dan nenek-nenek kita yang penuh strategi dalam upaya turut serta mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga dengan bekerja, menabung, berstrategi dalam arisan, dan segala bentuk usaha lainnya. Apakah mereka tetap tidak berlogika menurutmu? Jadi apakah logika hanya ditentukan oleh gender saja? Bukan pada kualitas diri?

Tidak selesai pada masalah logika yang menyoal perempuan, pembahasan tentang perempuan akan kita seret lebih jauh lagi pada beban-beban dan peran ganda yang dijalani oleh perempuan. Perempuan memiliki banyak sekali peran dalam hidupnya, jika ia adalah ibu rumah tangga, maka perannya tidak berhenti di situ, ia tetap menjadi anak perempuan di keluarganya yang sebelumnya, jika seorang perempuan tersebut adalah seorang karyawan pabrik, karyawan agensi, pegawai bank, guru, supermodel, dokter, dosen, peneliti, pedagang, dan beragam profesi lainnya, maka peran gandanya adalah menjadi perempuan, ibu, istri, dan sekaligus pekerja. Perempuan sebagai pekerja atau buruh sangat erat jalinannya dengan segala kerentanan, kerentanan-kerentanan yang hadir baik dari segi fisik maupun psikologis ini sangat memungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak perempuan dalam bekerja.

Dewasa ini, mungkin kita sering atau bahkan sampai muak mendengar kabar mengenai tindakan-tindakan kriminal yang terjadi kepada perempuan saat perempuan sedang bekerja, tindakan kriminal mulai dari pelecehan hingga pembunuhan (seperti yang dialami oleh Marsinah), tentu tidak akan asing di telinga kita. Aku setuju bahwa, tidak ada ruang aman bagi perempuan di dunia ini termasuk di tempat kerja– Semuanya berbahaya, semuanya terkutuk. Tidak usai dengan ancaman keselamatan dan beban-beban/ancaman-ancaman psikologis itu, perempuan sangat jarang sekali menerima haknya saat bekerja, salah satunya adalah mengambil cuti. Cuti berarti libur, libur berarti si kapitalis kelabakan, kelabakan berarti berbahaya bagi roda perusahaan. Sangat jarang kita temui ada perusahaan yang menyediakan cuti bagi perempuan yang sedang dalam masa haid, padahal haid yang terjadi setiap bulan pada diri perempuan menyiksanya minta ampun. Jangankan untuk bekerja, untuk berdiri saja terkadang tidak sanggup. Sebenarnya regulasi mengenai cuti haid sudah diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun implementasinya nihil, perempuan yang mengambil cuti tetap tidak mendapat kesejahteraan karena perusahaan tidak mau merugi.

Pada akhirnya, keterpaksaan itu tetap mengantarkan perempuan untuk masuk kerja, menyapa beban-beban kerja yang perlu dipikul untuk menopang tanggung jawab kapitalisme yang besarnya tidak sepadan dengan gaji UMR atau bahkan di bawahnya. Lantas, apakah pilihan ini tidak cukup rasional menurutmu? Jika benar perempuan hanya menggunakan perasaan, maka seharusnya akan lebih memilih merasakan dismenorheanya seharian sambil berbaring, timbang masuk kerja. Apakah ini tidak cukup logika bagimu?

Terakhir, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional adalah hari besar bagi para insan cendikia, civitas akademika, dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pendidikan adalah sarana yang seharusnya menjadi pembebasan bagi siapapun individu yang tergabung di dalamnya, tidak terkecuali perempuan. Dalam praktik-praktik pendidikan di Indonesia (karena aku juga bagian di dalamnya), mungkin saat ini kita masih sangat melanggenggkan hegemoni patriarki, yang mana laki-laki selalu mendapatkan peran yang lebih besar dibanding dengan perempuan. Perempuan selalu ditempatkan sebagai subsistem yang berada di bawah laki-laki, adanya perempuan yang “diletakkan” pada posisi-posisi strategis atau kurang strategis dalam pendidikan biasanya hanya “digunakan” sebagai totemisme bahwa perempuan dilibatkan, bukan benar-benar serius ingin melibatkan perempuan.

Dimanapun tempat dan apapun kondisinya, perempuan harus tetap menjadi kaum terdidik dan tidak menjadi bayang-bayang laki-laki, karena tujuan dari pendidikan yang humanis adalah tidak mengalienasi siapapun yang ada di dalamnya; tidak terkecuali perempuan. Keikutsertaan perempuan dalam bidang pendidikan juga masih sangat berpagut erat dengan ibuisme negara yang menjadi alat kontrol masa Orde Baru, contohnya adalah kegiatan Dharma Wanita yang mana perempuan kerap kali menjadi penyerta bagi suaminya dan tanpa melihat kemampuan dan edukasinya. Padahal, kita tentu tidak akan pernah berkekurangan perempuan-perempuan dengan intelektualitas mumpuni di negeri ini, namun sayangnya reduksi yang terjadi secara sistematis itu membuat perempuan menjadi pendukung tatanan hierarkis dan patriarkis saja. Stratifikasi ini tentunya akan selalu langgeng bila perempuan tidak menyadari ketertindasan dan alienasi yang terjadi pada dirinya di sistem pendidikan nasional ini, kesadaran akan pentingnya peran dan turut serta untuk andil di dalamnya harus dimulai dengan keberanian, belum lagi tetap di manapun tempatnya – tidak terkecuali di bidang pendidikan – perempuan juga akan sangat rentan dalam tindak pelecehan dan kejahatan lainnya.

Menjadi perempuan dengan segala realitas yang menyertainya dalam lingkup domestik, pekerjaan, dan pendidikan adalah tantangan tersendiri. Setiap hari adalah hidup yang menantang bagi perempuan, jaminan rasa aman yang minim, beratnya beban-beban ganda yang ditanggung, dan lekatnya budaya patriarki yang mengakar dari buyut hingga ke anak cucu adalah hal yang menyesakkan, belum lagi berbagai kejadian dan kesempatan yang berpotensi merisak perempuan. Namun, kita tahu di sekitar kita tetap akan tumbuh Kartini, Cut Nyak Dien, Laksamana Keumalahayati, S. Rukiah, dan Marianne Katoppo lainnya, karena logika perempuan tetap berjalan – Pun budi pekertinya. Mari berpegang tangan untuk memaksimalkan potensi tersebut, merangkul saudari-saudari yang mungkin rentan, tidak memiliki akses yang baik dalam pendidikan karena terkungkung sistem yang struktural, atau kurang menyadari rasa ketertindasan ini. Mari melawan, dengan sebaik-baiknya – Sehormat-hormatnya.

Selamat Hari Kartini, Hari Buruh, dan Hari Pendidikan Nasional🌻

Source:

[1] Balairung Press, https://www.balairungpress.com/2022/04/ibuisme-negara-hambat-gerakan-perempuan-progresif/

[2] Lingkaran Solidaritas (on Medium), https://medium.com/lingkaran-solidaritas/perempuan-dan-pendidikan-implementasi-pemikiran-kartini-603fa062b87a

[3] Narasi Daily, https://narasi.tv/read/narasi-daily/undang-undang-cuti-menstruasi

--

--

Leli

Kamu bisa menemukanku dalam bentuk apapun; tidak terkecuali pada cerita buruk dan kurang revolusioner