Perihal untuk Siapapun Kamu Berdiri, Berdirilah untuk Hal-Hal yang Baik dan Benar

Leli
4 min readMar 6, 2024

--

Sebagai seorang pengajar (yang masih belajar), aku seringkali berhadapan dengan pemikiran-pemikiran tak terduga dan luar biasa hebat dari teman-teman yang ku ajar. Iya, aku selalu menggunakan term “teman” dalam mengajar peserta didik, hal ini bukan karena tanpa alasan. Aku lebih nyaman saat memanggil dan menganggap mereka teman, karena menurutku, “semua murid semua guru” (buku dari Mbak Najeela Shihab) adalah kalimat paling pantas yang pernah aku dengar dalam upaya mendidik dan dididik. Kemarin aku membahas tentang negara maju dan negara berkembang, ya pembahasan ini ada di mata pelajaran geografi. Aku mengajar lintas jurusan dari jurusanku semasa kuliah, namun keduanya (ilmu-ilmu itu) masih erat berhubungan. Aku mengajar materi ini dengan keadaan semangat dan was-was karena pasti banyak teman-teman yang kuajar akan lebih mengerti (yang sebenernya ini jadi hal bagus), namun aku tidak ingin berhenti belajar. Mereka selalu memacuku untuk belajar tentang ilmu geografi yang sebelumnya tidak begitu aku selami, karena memang terakhir aku bener-bener belajar geografi murni waktu menjelang ujian nasional kelas 12. Diperkuliahan, ada mata kuliah bernama geohistori, namun mata kuliah ini hanya diajarkan satu semester saja, sisanya yang berbau geografi mungkin mata kuliah sejarah masa praaksara, yang mana bahas-bahas soal lapisan bumi yang menjadi sarang bagi fosil-fosil zaman purba.

Kembali lagi pada cerita mengajar kelas 12 kemarin, aku juga excited pas bawa materi ini, karena sudah pasti akan menghadirkan diskusi yang panjang mengenai perkembangan negara dari pelbagai sektor seperti stabilitas, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Benar adanya, bahwa mereka sangat aktif untuk menanggapi isu-isu kenegaraan baik nasional maupun internasional saat ini. Mereka sangat semangat untuk membahas segala permasalahan dari negara maju maupun berkembang, diskusi pun berjalan dengan feedback yang cukup baik dan memuaskan. Salah satu bukti konkrit yang kubawa dalam materi negara berkembang adalah konflik agraria, di negara yang berkembang, konflik vertikal agraria selalu sering terjadi. Selalu ada entitas yang tertindas dan kalah dalam upaya memperjuangkan hak kepemilikan tanahnya, yakni masyarakat kecil dan menengah. Aku memberikan contoh konflik agraria di dalam negeri seperti di Wadas, Papua, dan Pakel, pun selanjutnya memberi contoh konflik yang lebih luas cakupannya seperti konflik di Sudan dan Palestina.

Peserta didikku mengikuti diskusi dengan seksama (meski sesekali ke-distract ponselnya) dan menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa negara-negara yang (masih) sering berkonflik adalah negara dengan stabilitas dan kemapanan yang rendah karena adanya ketimpangan terhadap kesejahteraan baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Ketimpangan ini hadir karena adanya ketidakmampuan pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan setiap lapisan masyarakatnya, makanya masyarakat/kelompok masyarakat akan bertindak reaktif terhadap ketidaknyamanan yang mereka rasakan. Sampai sini, aku benar-benar percaya bahwa harapan untuk memiliki generasi pemikir akan mungkin jalannya, semoga saja!

Di sela-sela perjalanan pulang, aku selalu meromantisasi hidup dan pekerjaannku ini akan bisa membawa manfaat bagi siapapun kedepannya, mungkin sambil sesekali membayangkan aku akan berdiri menghalau setiap narasi-narasi buruk tentang ketertindasan melalui kelas-kelas yang kuajar. Ya begitulah pekerja pendidik lepas sepertiku, segala pikiran naif dan utopis selalu menyelinap diantara deru roda kendaraan yang menggilas jalanan kota kecil dan kurang terkenal ini. Kadang asa pun naik turun tentang bagaimana keadaan dan nasib pendidik sepertiku ke depan, bukan hanya perkara finansial, tetapi juga perkara pertanggungjawaban moral atas profesi yang kutempuh ini. Panjang, terjal, dan berliku-liku jalannya; tapi kebanyakan dari kami (yang berprofesi ini) terus optimis untuk mencoba.

Aku selalu mencoba menyelipkan narasi-narasi untuk menggugah kesadaran mengenai ketertindasan kepada peserta didik, hal ini aku lakukan karena jujur saja, aku muak dan marah terhadap segala situasi yang menindas saat ini. Baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri, sebagai manusia tentu aku tidak ingin hanya diam saja – lagi-lagi karena profesiku adalah pengajar, tentu aku mempertanggungjawabkan jalan berpikir dan moralitas peserta didikku di masa depan terhadap semua hal dan semua orang. Aku selalu marah, jengkel, dan kecewa apabila ada orang yang menganggap ketertindasan itu sebagai lelucon, contohnya saat aku mencoba membangun narasi tentang guru honorer, tak jarang aku selalu mendapat komentar dari teman di instagram yang bilang “Kalo kamu gapuas sama gajimu, mending ganti profesi aja” atau saat aku membagikan narasi tentang ketertindasan kelompok seperti kelompok etnis Rohingya atau Palestina, pasti akan ada yang berpikir “Untuk apa?!” “Lebay!” “Ngapain bela Rohingya! Mending noh saudara-saudara kita yang deket dan senegara” Atau selalu ada narasi pembanding tentang mereka-mereka yang tertindas ini.

Menurutku, setiap ketertindasan yang dialami oleh saudara-saudara kita di Papua, Wadas, Pakel, Palestina, Rohingya, Sudan, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang tidak perlu kita perdebatkan tentang “siapa yang lebih pantas untuk dibela”. Bayangkan saja, dalam penderitaan pun kita masih milih-milih tentang kepada siapa kita harus bersimpati dan mengulurkan bantuan. Aku selalu takut pikiran ini mampir kepada peserta didikku, karena menurutku akan menjadi degradasi yang besar dalam upaya membentuk jiwa kemanusiaan kita. Aku sangat meyakini bahwa kemanusiaan itu harusnya tidak tebang pilih, siapapun yang mengalami penderitaan baik karena sistemik atau lainnya, perlu kita perjuangkan dan bantu mereka untuk mendapatkan haknya.

Perihal kamu bingung kepada rasa derita mana kamu akan dan harus berlabuh; tetap akan lantang kukatakan, bahwa musuh terbesar kita adalah penindasan dan kesewenangan terhadap kemanusiaan – Dimanapun, kapanpun, dan kepada siapapun itu terjadi!

Pada akhir tulisan ini, aku akan selalu berpesan pada kita semua (tak terkecuali untukku sendiri, apabila nanti aku lupa), bahwa segala penderitaan tidak layak untuk kita bandingkan tentang sesiapa yang paling menderita. Derita akan tetap terasa derita, tidak ada derita yang “mendang-mending”. Berpihak pada siapapun yang lemah, teropresi, tidak berdaya, dan perlu bantuan adalah sebuah keharusan. Demikian rasa kemanusiaan itu (seharusnya) bekerja; pada siapapun. Tanpa tebang pilih apa agamanya, apa negaranya, apa kelompoknya, dan apa yang kita anggap “mending bela ini aja!”. Perjuangan terhadap kemanusiaan tentang apapun itu, tidak layak kita bandingkan dengan perjuangan tentang kemanusiaan lainnya. Hakikatnya, jika semakin banyak masalah kemanusiaan yang harus kita perjuangkan, maka berarti semakin banyak ketidakadilan di dunia ini. Tidak perlu mengerdilkan perjuangan satu dengan lainnya, karena setiap perjuangan itu pasti nanti akan ada maknanya.

Akhir kata, kepada siapapun kamu berpihak; jangan sampai keberpihakanmu menjadikanmu manusia yang tebang pilih dalam memilih isu kemanusiaan, kita tidak bisa menebang mana yang tidak perlu dan tidak bisa memilih mana yang penting, karena dalam masalah kemanusiaan semua perlu dan semua penting – Begitulah term baik dan benar ini kita maksudkan.

Panjang umur perjuangan🌻

--

--

Leli

Kamu bisa menemukanku dalam bentuk apapun; tidak terkecuali pada cerita buruk dan kurang revolusioner